A. HUKUM DAN DALIL WAKAF
1.
DALIL
WAKAF
a. Menurut
Al-Qur’an
Secara
umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.
Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para
ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat
al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat
tersebut antara lain:
“Hai
orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan
sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
Ayat-ayat tersebut di atas
menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk
mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah
telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah.
b. Menurut
Hadist
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil
wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika
memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah
tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan
hasilnya.
Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah;
“Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan
berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya
tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya.
Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah:
“Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu
Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan
wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk
memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir
dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh
pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa
menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis
yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah;
“Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal
perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu
pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas,
para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang
disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak
amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa
dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa
awal Islam hingga sekarang.
2.
HUKUM
WAKAF
Hukum wakaf apabila dilakukan berdasarkan
tuntutan syari'at maka wakaf tersebut hukumnya mustahab, sebab ia merupakan
salah satu bentuk sedekah. Tapi sekiranya orang bernadzar mewakafkan sesuatu,
maka wakaf tersebut menjadi sebuah kewajiban, lantaran nadzar tersebut. Namun,
seandainya terdapat unsur kezhaliman pada akad wakaf tersebut atau mewakafkan
sesuatu yang diharamkan, maka wakaf tersebut adalah haram. Hukum wakaf juga
dapat menjadi makruh apabila wakaf tersebut menyulitkan ahli waris. Jadi, pada
wakaf berlaku lima jenis hukum (mubah, wajib, sunnah, haram, atau makruh).
Dengan dasar
hadits-hadits di atas maka kita mengetahui bahwa hukum asal wakaf adalah sunnah
apabila dengan niat mencari pahala dari Alloh Ta’ala. Akan tetapi suatu ketika
wakaf hukumnya bisa berubah sesuai dengan niatnya, karena setiap amalan
tergantung pada niatnya.
Sebagai
contoh:
- Seorang yang mewakafkan tanahnya dengan maksud supaya mendapatkan pujian manusia maka hukum wakafnya menjadi haram, karena ini termasuk riya’ yang diharamkan dalam Islam.
- Seorang yang bernadzar mewakafkan sebagian hartanya di jalan Alloh, maka hukum wakafnya menjadi wajib, karena ini termasuk nadzar sebuah ketaatan, dan nadzar ketaatan wajib dilaksanakan.
wakaf
dianggap sah dengan dua perkara
Ada dua
cara/jalan yang dapat dianggap sebagai wakaf yang sah, yaitu:
1. Dengan
perbuatan
Apabila
seseorang mewakafkan sebagian hartanya dengan cara melakukan sesuatu yang
bermakna wakaf maka cara ini juga dianggap sebagai wakaf yang sah, walaupun dia
tidak mengucapkan kata “wakaf” dengan lisannya.
Sebagai
contoh: Apabila
seseorang membangun masjid kemudian membiarkan siapa saja yang shalat dalarn
masjid itu maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan tanahnya di jalan
Alloh shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dia tidak mengucapkan:
“Tanah ini aku wakafkan untuk masjid.”
Contoh lain:
Apabila
seorang menjadikan sebagian tanahnya untuk pekuburan umum dan tidak melarang
siapa saja yang menguburkan jenazah di sana, maka ini sama halnya orang
tersebut mewakafkan sebagian tanahnya di jalan Alloh Ta’ala, walaupun dia tidak
mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan menjadi kuburan umum.”
2. Dengan
perkataan
Wakaf dengan
perkataan dibagi menjadi dua macam:
a. Perkataan
yang jelas (sharih), maksudnya adalah dengan perkataan yang bermakna wakaf
secara jelas dan tidak mengandung arti selain wakaf. Contohnya, seorang
berkata: “Aku wakafkan tanahku ini untuk pesantren.”
b. Perkataan
kiasan (kinayah), yaitu dengan
perkataan yang mengandung kemungkinan bermakna wakaf dan mengandung kemungkinan
makna yang lain.
Contohnya,
seorang berkata: “Aku sedekahkan rumah ini untuk para
penuntut ilmu.”
Maka
perkataan “Aku sedekahkan” dalam contoh di atas mengandung kemungkinan bermakna
sedekah sebagaimana lafazh yang tersurat dan mengandung kemungkinan
bermakna wakaf sebagaimana yang tersirat dan sebagaimana yang sering digunakan
lafazh ini untuk maksud wakaf.
Untuk
membedakan dua makna yang terkandung di dalamnya maka orang yang mengucapkan
kalimat tersebut harus disertai niat salah satu dari dua maksud/makna tersebut,
kalau dia mengatakan: “Aku sedekahkan” tetapi niatnya adalah mewakafkan maka
ini dihukumi sebagai wakaf, tetapi kalau dia menginginkan/berniat sedekah maka
perkataannya dihukumi sebagai sedekah.
Faidah.
Perlu dibedakan antara wakaf dan sedekah, dikarenakan ada perbedaan yang sangat
jelas antara keduanya. Di antara perbedaan yang sangat jelas adalah kalau wakaf
berarti harta itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh
diwariskan. Berbeda dengan sedekah, maka orang yang diberi sedekah berhak
melakukan apa saja terhadap harta itu karena sudah menjadi hak miliknya,
sehingga boleh baginya menjual, menghibahkan, atau yang lainnya.
No comments:
Post a Comment